Pages

Sabtu, 27 April 2013

Tugas Distribusi Pendapatan Nasional & Kemiskinan di indonesia


Tugas
Perekonomian Indonesia
(SOFTSKILL)

Description: LOGO_GUNADARMA


KELOMPOK           :
1.     Firmansyah Janitra      (22212989)
2.     Listya Anindya                (24212236)
3.     Mega Sri Diana                (24212517)
4.     Sari Mulyati                      (26212853)
  1. Tiara Febdina                  (27212370)

Dosen                         :
      S. TIWI ANGGRAENI
                                   
UNIVERSITAS GUNADARMA
2013


TUGAS PERTAMA
1.    Jelaskan mengenai Distribusi Pendapatan Nasional & Kemiskinan di indonesia dan berikan contoh dalam bentuk tabel !!
PENGERTIAN
Distribusi pendapatan mencerminkan ketimpangan atau meratanya hasil pembangunan suatu daerah atau negara baik yang diterima masing-masing orang ataupun dari kepemilikan faktor-faktor produksi dikalangan penduduknya. Menurut Irma Adelma dan Cynthia Taft Morris (dalam Lincoln Arsyad,1997)  ada 8 hal yang menyebabkan ketimpangan/ketidakmerataan distribusi
pendapatan di Negara Sedang Berkembang :
  1. Pertumbuhan penduduk yang tinggi yang mengakibatkan menurunnya pendapatan perkapita.
  2. Inflasi dimana pendapatan uang bertambah tetapi tidak diikuti secara proporsional dengan pertambahan produksi barang-barang.
  3.  Ketidakmerataan pembangunan antar daerah.
  4.  Investasi yang sangat banyak dalam proyek-proyek yang padat modal (Capital Insentive),        sehingga persentase pendapatan modal dari kerja tambahan besar dibandingkan dengan persentase  pendapatan yang berasal dari kerja, sehingga pengangguran bertambah.
  5.  Rendahnya mobilitas sosial.
  6. Pelaksanaan kebijakan industri substitusi impor yang mengakibatkan kenaikan harga-harga barang hasil industri untuk melindungi usaha-usaha golongan kapitalis.
  7. Memburuknya nilai tukar (term of trade) bagi Negara Sedang Berkembang dalam perdagangan dengan Negara-negara maju, sebagai akibat ketidak elastisan permintaan Negara-negara maju terhadap barang-barang ekspor Negara Sedang Berkembang.
  8. Hancurnya industri kerajinan rakyat seperti pertukangan, industri rumah tangga, dan lain-lain.
                    Distribusi Pendapatan dan Kemiskinan di Indonesia

            Pada awal pemerintahan orde baru, perencanaan pembangunan ekonomi di Indonesia masih sangat percaya bahwa apa yang dimaksud dengan trickle down effect akan terjadi. Oleh karena itu, strategi pembangunan diterapkan oleh pemerintah pada awal periode orde baru hingga akhir tahun 1970-an terpusatkan pada pertumbuhan ekonomi yang tinggi. Untuk mencapai tujuan tersebut maka pusat pembangunan dimulai di Pulau Jawa, khususnya Propinsi Jawa Barat, karena fasilitas seperti infrastruktur lebih tersedia dibandingkan dipropinsi lainnya di Indonesia dan di beberapa propinsi hanya dibeberapa sector saja yang bisa dengan cepat memberi pertumbuhan misalnya sector primer dan industri berat.
Setelah sepuluh tahun pelita I dimulai, mulai kelihatan bahwa efek yang dimaksud itu mungkin tidak dapat dikatakan sama sekali tidak ada, tetapi proses mengalir kebawahnya sangat lamban. Sebagai akibatnya, Indonesia menikmati laju pertumbuhan yang relatif tinggi, tetapi pada waktu yang bersamaan tingkat kesenjangan semakin membesar dan jumlah orang miskin semakin banyak. Tepatnya setelah pelita III, strategi pembangunan mulai diubah. Tidak hanya pertumbuhan tetapi juga kesejahteraan masyarakat, tidak hanya dijawa, tetapi juga diluar jawa, menjadi kesejahteraan masyarakat, misalnya dengan mengembangkan industri yang padat karya dan sector pertanian

Masalah besar yang dihadapi negara sedang berkembang adalah disparitas (ketimpangan) distribusi pendapatan dan tingkat kemiskinan. Tidak meratanya distribusi pendapatan memicu terjadinya ketimpangan pendapatan yang merupakan awal dari munculnya masalah kemiskinan. Membiarkan kedua masalah tersebut berlarut-larut akan semakin memperparah keadaan, dan tidak jarang dapat menimbulkan konsekuensi negatif terhadap kondisi sosial dan politik.
Masalah kesenjangan pendapatan dan kemiskinan tidak hanya dihadapi oleh negara sedang berkembang, namun negara maju sekalipun tidak terlepas dari permasalahan ini. Perbedaannya terletak pada proporsi atau besar kecilnya tingkat kesenjangan dan angka kemiskinan yang terjadi, serta tingkat kesulitan mengatasinya yang dipengaruhi oleh luas wilayah dan jumlah penduduk suatu negara. Semakin besar angka kemiskinan, semakin tinggi pula tingkat kesulitan mengatasinya.
Negara maju menunjukkan tingkat kesenjangan pendapatan dan angka kemiskinan yang relative kecil dibanding negara sedang berkembang, dan untuk mengatasinya tidak terlalu sulit mengingat GDP dan GNP mereka relative tinggi. Walaupun demikian, masalah ini bukan hanya menjadi masalah internal suatu negara, namun telah menjadi permasalahan bagi dunia internasional.

Berbagai upaya yang telah dan sedang dilakukan oleh dunia internasional, baik berupa bantuan maupun pinjaman pada dasarnya merupakan upaya sistematis untuk memperkecil kesenjangan pendapatan dan tingkat kemiskinan yang terjadi di negara-negara miskin dan sedang berkembang. Beberapa lembaga internasional seperti IMF dan Bank Dunia serta lembaga-lembaga keuangan internasional lainnya berperan dalam hal ini. Kesalahan pengambilan kebijakan dalam pemanfaatan bantuan dan/ atau pinjaman tersebut, justru dapat berdampak buruk bagi struktur sosial dan perekonomian negara bersangkutan.
Perbedaan pendapatan timbul karena adanya perbedaan dalam kepemilikan sumber daya dan faktor produksi terutama kepemilikan barang modal (capital stock). Pihak (kelompok masyarakat) yang memiliki faktor produksi yang lebih banyak akan memperoleh pendapatan yang lebih banyak pula. Menurut teori neoklasik, perbedaan pendapatan dapat dikurangi melalui proses penyesuaian otomatis, yaitu melalui proses “penetasan” hasil pembangunan ke bawah (trickle down) dan kemudian menyebar sehingga menimbulkan keseimbangan baru. Apabila proses otomatis tersebut masih belum mampu menurunkan tingkat perbedaan pendapatan yang sangat timpang, maka dapat dilakukan melalui sistem perpajakan dan subsidi.
Penetapan pajak pendapatan/penghasilan akan mengurangi pendapatan penduduk yang pendapatannya tinggi. Sebaliknya subsidi akan membantu penduduk yang pendapatannya rendah, asalkan tidak salah sasaran dalam pengalokasiannya. Pajak yang telah dipungut apalagi menggunakan sistem tarif progresif (semakin tinggi pendapatan, semakin tinggi prosentase tarifnya), oleh pemerintah digunakan untuk membiayai roda pemerintahan, subsidi dan proyek pembangunan. Dari sinilah terjadi proses redistribusi pendapatan yang akan mengurangi terjadinya ketimpangan.
Tingginya Produk Domestik Bruto (PDB) suatu negara belum tentu mencerminkan meratanya terhadap distribusi pendapatan. Kenyataan menunjukkan bahwa pendapatan masyarakat tidak selalu merata, bahkan kecendrungan yang terjadi justru sebaliknya. Distribusi pendapatan yang tidak merata akan mengakibatkan terjadinya disparitas. Semakin besar perbedaan pembagian “kue” pembangunan, semakin besar pula disparitas distribusi pendapatan yang terjadi. Indonesia yang tergolong dalam negara yang sedang berkembang tidak terlepas dari permasalahan ini.


Kemiskinan Di Indonesia, fenomena Dan Fakta
            Menurut Remi dan Tjiptoherijanto (2002:1) upaya menurunkan tingkat kemiskinan di Indonesia telah dimulai awal tahun 1970-an diantaranya melalui program Bimbingan Masyarakat (Bimas) dan Bantuan Desa (Bandes). Tetapi upaya tersebut mengalami tahapan jenuh pada pertengahan tahun 1980-an, yang juga berarti upaya penurunan kemiskinan di tahun 1970-an tidak maksimal, sehingga jumlah orang miskin pada awal 1990-an kembali naik. Disamping itu kecenderungan ketidakmerataan pendapatan nasional melebar yang mencakup antar sektor, antar kelompok, dan ketidakmerataan antar wilayah.
 berdasarkan data Bank Dunia jumlah penduduk miskin Indonesia pada tahun 2002 bukanlah 10 sampai 20% tetapi telah mencapai 60% dari jumlah penduduk Indonesia yang berjumlah 215 juta jiwa. Hal ini diakibatkan oleh ketidakmampuan mengakses sumber-sumber permodalan, juga karena infrastruktur yang juga belum mendukung untuk dimanfaatkan masyarakat memperbaiki kehidupannya, selain itu juga karna SDM, SDA, Sistem, dan juga tidak terlepas dari sosok pemimpin. Kemiskinan harus diakui memang terus menjadi masalah fenomenal sepanjang sejarah Indonesia sebagai negara bangsa, bahkan hampir seluruh energi dihabiskan hanya untuk mengurus persoalan kemiskinan. Yang menjadi pertanyaan sekarang ini adalah, mengapa masalah kemiskinan seakan tak pernah habis, sehingga di negara ini, rasanya tidak ada persoalan yang lebih besar, selain persoalan kemiskinan. Kemiskinan telah membuat jutaan anak-anak tidak bisa mengenyam pendidikan yang berkualitas, kesulitan membiayai kesehatan, kurangnya tabungan dan tidak adanya investasi, kurangnya akses ke pelayanan publik, kurangnya lapangan pekerjaan, kurangnya jaminan sosial dan perlindungan terhadap keluarga, menguatnya arus perpindahan dari desa ke kota dengan tujuan memperbaiki kehidupan, dan yang lebih parah, kemiskinan menyebabkan jutaan rakyat memenuhi kebutuhan pangan, sandang dan papan secara terbatas. Kemiskinan menyebabkan masyarakat desa rela mengorbankan apa saja demi keselamatan hidup, kemiskinan menyebabkan banyak orang melakukan prilaku menyimpang, harga diri diperjual belikan hanya untuk mendapatkan makan. Si Miskin rela mempertaruhkan tenaga fisik untuk memproduksi keuntungan bagi mereka yang memiliki uang dan memegang kendali atas sektor perekonomian lokal dan menerima upah yang tidak sepadan dengan biaya tenaga yang dikeluarkan. Para buruh bekerja sepanjang hari, tetapi mereka menerima upah yang sangat sedikit. Bahkan yang lebih parah, kemiskinan telah membuat masyarakat kita terjebak dalam budaya memalas, budaya mengemis, dan menggantungkan harapannya dari budi baik pemerintah melalui pemberian bantuan. kemiskinan juga dapat meningkatkan angka kriminalitas, kenapa penulis mengatakan bahwa kemiskinan dapat meningkatkan angka kriminalitas, jawabannya adalah karna mereka (simiskin) akan rela melakukan apa saja untuk dapat mempertahankan hidupnya, baik itu mencuri, membunuh, mencopet, bahkan jika ada hal yang lebih keji dari itu ia akan tega dan berani melakukannya demi hidupnya. Kalau sudah seperti ini siapa yang harus kita salahkan. kemiskinan seakan menjadi sebuah fenomena atau sebuah persoalan yang tak ada habis-habisnya, pemerintah terkesan tidak serius dalam menangani persoalan kemiskinan, pemerintah lebih membiarkan mereka mengemis dan mencuri ketimbang memikirkan cara untuk menanggulangi dan mengurangi tingkat kemiskinan dan membebaskan Negara dari para pengemis jalanan karna kemiskinan.

Tabel perkembangan tingkat kemiskinan diIndonesia pada tahun 1976-2007
Tahun
Kemiskinan di Pedesaan
Kemiskinan di Perkotaan
Jumlah
1976
44,2 Juta jiwa
10 Juta jiwa
54,2 Juta jiwa
1980
9,5 Juta jiwa
32,8 Juta jiwa
42,3 Juta jiwa
1990
9,4 Juta jiwa
17,8 Juta jiwa
27,2 Juta jiwa
1996
9,6 Juta jiwa
24,9 Juta jiwa
34,5 Juta jiwa
2002
25,1 Juta jiwa
13,3 Juta jiwa
38,4 Juta jiwa
2007
23,7 Juta jiwa
13,5 Juta jiwa
37,2 Juta jiwa
PENJELASAN
jumlah penduduk miskin di Indonesia pada periode 1976-2007 berfluktuasi dari tahun ke tahun. Pada tahun 1976 penduduk miskin sekitar 54,2 juta jiwa (sekitar 44,2 juta jiwa di perdesaan, dan sekitar 10 juta jiwa di perkotaan). Angka ini pada tahun 1980 berkurang hingga menjadi sekitar 42,3 juta jiwa (sekitar 32,8 juta jiwa di perkotaan, dan sekitar 9,5 juta jiwa di perdesaan), atau berkurang sekitar 21,95 persen dari tahun 1976. Pada tahun 1990 jumlah penduduk miskin berkurang hingga menjadi sekitar 27,2 juta jiwa (sekitar 17,8 juta jiwa di perkotaan, dan sekitar 9,4 juta jiwa di perdesaan), atau berkurang sekitar 35,69 persen dari tahun 1980. Pada tahun 1996 jumlah penduduk miskin mengalami kenaikan hingga mencapai sekitar 34,5 juta jiwa (sekitar 24,9 juta jiwa di perkotaan, dan sekitar 9,6 juta jiwa di perdesaan). Dibandingkan dengan tahun 1990, angka ini menurun sekitar 20,87 persen. Namun, pada tahun 2002 jumlah penduduk miskin kembali meningkat hingga menjadi sekitar 38,4 juta jiwa. Sementara, pada tahun 2007 jumlah penduduk miskin menurun hingga menjadi sekitar 37.17 juta jiwa. Fluktuasi jumlah penduduk miskin di Indonesia disebabkan karena terjadinya krisis ekonomi, pertambahan jumlah penduduk tiap tahun, pengaruh kebijakan pemerintah dan sebagainya.(Badan Pusat Statistik).

2.    Terangkan bagaimana menganalisis tentang distribusi pendapatan berikan contohnya !
Terdapat berbagai criteria atau tolak ukur untuk menilai kemerataan (parah/lunaknya ketimpangan) distibusi dimaksud. Tiga diantaranya yang paling lazim digunakan ialah :
     1.      Kurva Lorenz
     2.      Indeks atau Rasio gini
     3.   Criteria Bank Dunia

1. KURVA LORENZ

https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEg0LDnJm7UNz8X0bZuMldqe_Bqt80d_jpHG8Qw3wnaNjnVBu-xemfRbu-ckgkag6LtDGhs669ZrCXIQfzB1ZarARGKOE-rlTaZh0uFSebqUfO-zNYVWv1EUO93_QZSKv1CsvRLa8NPZ_zY/s400/kurva.jpeg

Penjelasan :

  • ·         Kurva Lorenz menggambarkan distribusi kumulatif pendapatan nasional dikalangan lapisan-lapisan penduduk, secara kumulatif pula. Kurva ini terletak didalam sebuah bujur sangkar yang sisi tegaknya melambangkan persentase kumulatif pendapatan nasional, sedangkan sisi datarnya mewakili persentase kumulatif penduduk. Kurvanya  sendiri  “ditempatkan” pada diagonal utama bujur sangkar tersebut. Kurva Lorenz yang semakin dekat ke diagonal (semakin lurus) menyiratkan distribusi pendapatan nasional yang semakin merata. Sebaliknya, jika kurva Lorenz semakin jauh dari diagonal (semakin lengkung), maka ia mencerminkan keadaan yang semakin buruk, distribusi pendapatan nasional semakin timpang atau tidak merata.
2. Indeks atau Rasio Gini
  • ·        Indeks atau Rasio Gini adalah suatu koefisien yang, berkisar dari angka 0-1, menjelaskan kadar kemerataan (ketimpangan) distribusi pendapatan nasional. Semakin kecil (semakin mendekati 0) koefisien nya, pertanda semakin baik atau merata distribusi. Di lain pihak, koefisien yang kian besar (semakin mendekati 1) mengisyaratkan distribusi yang kian timpang atau senjang. Angka rasio gini dapat ditaksirkan secara visual langsung dari kurva Lorenz, yaitu perbandingan luas are yang terletak diantara kurva Lorenz dan diagonal terhadap luas area segitiga OBC. Perhatikan, semakin melengkung kurva Lorenz akan semakin luas area yang dibagi. Rasio gini nya akan kian besar, menyiratkan distribusi pendapatan yang kian timpang. Rasio gini juga dapat dihitung secara matematik dengan rumus :
G = 1- E1 (Xi+1 – X1)(Yi + Yi+1)
0 < G < 1
·       
           G = Rasio Gini
·         Xi = Proporsi jumlah kumulatif rumah tangga dalam kelas- i
·         Yi = Proporsi jumlah kumulatif pendapatan dalam kelas-i

Keterangan koefisien Gini:
Ketimpangan rendah   : < 0.4
Ketimpangan Sedang  : 0.4-0.5
Ketimpangan tinggi    : > 0.5




  1. Bank Dunia :
Selain Kurva Lorenz dan Koefisien Gini , untuk melihat distribusi pendapatan dapat menggunakan kriteria yang ditentukan Bank Dunia.


Contoh dalam bentuk tabel.
Indikator ketimpangan Distribusi Pendapatan Menurut Bank Dunia
                         Distribusi Pendapatan
Tingkat Ketimpangan
Kelompok 40% penduduk termiskin pengeluarannya < 12 % dari keseluruhan pengeluaran.
Kelompok 40% penduduk termiskin pengeluarannya antara 12% - 17% dari keseluruhan pengeluaran.
Kelompok 40% penduduk termiskin pengeluarannya > 17% dari keseluruhan pengeluaran.
Tinggi

Sedang
Rendah
Keterangan .
           Tinggi : 40% kelompok termiskin dengan pengeluaran < 12% dr total Y
Sedang : 40% kelompok termiskin dengan pengeluaran 12-17% dr total Y
Rendah: 40% kelompok termiskin dengan pengeluaran > 17% dr total Y

Kriteria ketidakmerataan versi Bank Dunia didasarkan atas porsi pendapatan nasional yang dinikmati oleh tiga lapisan penduduk, yakni 40% penduduk berpendapatan terendah (penduduk termiskin) ; 40% penduduk berpendapatan menengah ; 20% penduduk berpendapatan tertinggi (penduduk terkaya). Ketimpangan atau ketidakmerataan distribusi dinyatakan parah apabila 40% penduduk berpendapatan terendah menikmati kurang dari 12% pendapatan nasional. Ketidakmerataan dianggap sedang atau moderat bila 40% penduduk termiskin menikmati antara 12% - 17% pendapatan nasional. Sedangkan jika 40% penduduk yang berpendapatan terendah menikmati lebih dari 17% pendapatan nasional, maka ketimpangan atau kesenjangan dikatakan lunak, distribusi pendapatan nasional dianggap cukup merata.
Kriteria ketidakmerataan versi Bank Dunia ini sering pula dipakai sekaligus sebagai criteria kemiskinan relative. Kemerataan distribusi pendapatan nasional bukan semata-mata ”pendamping” pertumbuhan ekonomi dalam menilai keberhasilan pembangunan. Ketidakmerataan sesungguhnya tak lepas dari maslah kemiskinan. Keduanya ibarat dua sisi pada sekeping mata uang. Oleh karnanya diskusi-diskusi mengenai pemerataan senantiasa terkait dengan pembahasan tentang kemiskinan.
Isu kemerataan dan pertumbuhan hingga kini masih menjadi debat tak berkesudahan dalam konteks pembangunan. Kedua hal ini berkait dengan dua hal lain yang juga setara kadar perdebatannya, yaitu efektivitas dan efisiensi. Pemikiran dan strategi serta pelaksanaan pembangunan ekonomi tak pernah luput dari perdebatan antara pengutamaan efisiensi dan pertumbuhan disatu pihak melawan pengutamaan efektivitas dan kemerataan dilain pihak. Pakar-pakar ekonomi pembangunan tak kunjung usai memperdebatkannya. Beberapa diantara mereka cenderung lebih berpihak disalah satu kutub, sementara beberapa selebihnya berpihak dikutub seberangnya.


CONTOH :
Koefisien Gini Perekonomian DKI Jakarta, Tahun 1997-2001

Tahun
40% Berpendapatan Terendah
40% Berpendapatan Sedang
20% Berpendapatan Tertinggi
Rasio Gini
1997
19,8
35,0
45,2
0,34
1998
23,4
30,1
46,5
0,33
1999
21,4
38,9
40,7
0,32
2000
20,2
35,6
44,2
0,35
2001
21,8
37,0
41,2
0,31

Penjelasan
            Dari tabel di atas terlihat bahwa selama 1997-2001 , 40% penduduk berpendapatan terendah di Provinsi DKI Jakarta menikmati sekitar 20% output perekonomian DKI Jakarta. Porsi terbesar yang pernah mereka nikmati terjadi pada awal krisis ekonomi yaitu tahun 1998 , dimana 40% penduduk berpendapatan terendah menikmati 23,4% output perekonomian. Namun secara keseluruhan porsi output yang dinikmati 40% penduduk berpendapatan terendah, selama periode krisis ekonomi membaik.

1 komentar: