Tugas
Perekonomian
Indonesia
(SOFTSKILL)
KELOMPOK
:
1.
Firmansyah
Janitra (22212989)
2.
Listya
Anindya (24212236)
3.
Mega
Sri Diana (24212517)
4.
Sari
Mulyati (26212853)
- Tiara Febdina (27212370)
Dosen :
S. TIWI ANGGRAENI
UNIVERSITAS
GUNADARMA
2013
TUGAS PERTAMA
1.
Jelaskan mengenai Distribusi Pendapatan Nasional &
Kemiskinan di indonesia dan berikan contoh dalam bentuk tabel !!
PENGERTIAN
Distribusi
pendapatan mencerminkan ketimpangan atau meratanya hasil pembangunan suatu
daerah atau negara baik yang diterima masing-masing orang ataupun dari
kepemilikan faktor-faktor produksi dikalangan penduduknya. Menurut Irma Adelma
dan Cynthia Taft Morris (dalam Lincoln Arsyad,1997) ada 8 hal yang menyebabkan ketimpangan/ketidakmerataan distribusi
pendapatan
di Negara Sedang Berkembang :
- Pertumbuhan penduduk yang
tinggi yang mengakibatkan menurunnya pendapatan perkapita.
- Inflasi dimana pendapatan uang
bertambah tetapi tidak diikuti secara proporsional dengan pertambahan
produksi barang-barang.
- Ketidakmerataan
pembangunan antar daerah.
- Investasi yang sangat
banyak dalam proyek-proyek yang padat modal (Capital Insentive),
sehingga persentase pendapatan modal dari kerja tambahan besar
dibandingkan dengan persentase pendapatan yang berasal dari kerja,
sehingga pengangguran bertambah.
- Rendahnya mobilitas
sosial.
- Pelaksanaan kebijakan industri
substitusi impor yang mengakibatkan kenaikan harga-harga barang hasil
industri untuk melindungi usaha-usaha golongan kapitalis.
- Memburuknya nilai tukar (term
of trade) bagi Negara Sedang Berkembang dalam perdagangan dengan
Negara-negara maju, sebagai akibat ketidak elastisan permintaan
Negara-negara maju terhadap barang-barang ekspor Negara Sedang Berkembang.
- Hancurnya industri kerajinan
rakyat seperti pertukangan, industri rumah tangga, dan lain-lain.
Distribusi
Pendapatan dan Kemiskinan di Indonesia
Pada awal pemerintahan orde baru,
perencanaan pembangunan ekonomi di Indonesia masih sangat percaya bahwa apa
yang dimaksud dengan trickle down effect akan terjadi. Oleh karena itu,
strategi pembangunan diterapkan oleh pemerintah pada awal periode orde baru
hingga akhir tahun 1970-an terpusatkan pada pertumbuhan ekonomi yang tinggi.
Untuk mencapai tujuan tersebut maka pusat pembangunan dimulai di Pulau Jawa, khususnya
Propinsi Jawa Barat, karena fasilitas seperti infrastruktur lebih tersedia
dibandingkan dipropinsi lainnya di Indonesia dan di beberapa propinsi hanya
dibeberapa sector saja yang bisa dengan cepat memberi pertumbuhan misalnya
sector primer dan industri berat.
Setelah sepuluh tahun pelita I
dimulai, mulai kelihatan bahwa efek yang dimaksud itu mungkin tidak dapat
dikatakan sama sekali tidak ada, tetapi proses mengalir kebawahnya sangat
lamban. Sebagai akibatnya, Indonesia menikmati laju pertumbuhan yang relatif
tinggi, tetapi pada waktu yang bersamaan tingkat kesenjangan semakin membesar
dan jumlah orang miskin semakin banyak. Tepatnya setelah pelita III, strategi
pembangunan mulai diubah. Tidak hanya pertumbuhan tetapi juga kesejahteraan
masyarakat, tidak hanya dijawa, tetapi juga diluar jawa, menjadi kesejahteraan
masyarakat, misalnya dengan mengembangkan industri yang padat karya dan sector
pertanian
Masalah besar yang dihadapi negara
sedang berkembang adalah disparitas (ketimpangan) distribusi pendapatan dan
tingkat kemiskinan. Tidak meratanya distribusi pendapatan memicu terjadinya
ketimpangan pendapatan yang merupakan awal dari munculnya masalah kemiskinan.
Membiarkan kedua masalah tersebut berlarut-larut akan semakin memperparah
keadaan, dan tidak jarang dapat menimbulkan konsekuensi negatif terhadap
kondisi sosial dan politik.
Masalah kesenjangan pendapatan dan
kemiskinan tidak hanya dihadapi oleh negara sedang berkembang, namun negara
maju sekalipun tidak terlepas dari permasalahan ini. Perbedaannya terletak pada
proporsi atau besar kecilnya tingkat kesenjangan dan angka kemiskinan yang
terjadi, serta tingkat kesulitan mengatasinya yang dipengaruhi oleh luas
wilayah dan jumlah penduduk suatu negara. Semakin besar angka kemiskinan,
semakin tinggi pula tingkat kesulitan mengatasinya.
Negara maju menunjukkan tingkat
kesenjangan pendapatan dan angka kemiskinan yang relative kecil dibanding
negara sedang berkembang, dan untuk mengatasinya tidak terlalu sulit mengingat
GDP dan GNP mereka relative tinggi. Walaupun demikian, masalah ini bukan hanya
menjadi masalah internal suatu negara, namun telah menjadi permasalahan bagi
dunia internasional.
Berbagai upaya yang telah dan sedang
dilakukan oleh dunia internasional, baik berupa bantuan maupun pinjaman pada
dasarnya merupakan upaya sistematis untuk memperkecil kesenjangan pendapatan
dan tingkat kemiskinan yang terjadi di negara-negara miskin dan sedang
berkembang. Beberapa lembaga internasional seperti IMF dan Bank Dunia serta
lembaga-lembaga keuangan internasional lainnya berperan dalam hal ini.
Kesalahan pengambilan kebijakan dalam pemanfaatan bantuan dan/ atau pinjaman
tersebut, justru dapat berdampak buruk bagi struktur sosial dan perekonomian
negara bersangkutan.
Perbedaan pendapatan timbul karena
adanya perbedaan dalam kepemilikan sumber daya dan faktor produksi terutama
kepemilikan barang modal (capital stock). Pihak (kelompok masyarakat) yang
memiliki faktor produksi yang lebih banyak akan memperoleh pendapatan yang
lebih banyak pula. Menurut teori neoklasik, perbedaan pendapatan dapat
dikurangi melalui proses penyesuaian otomatis, yaitu melalui proses “penetasan”
hasil pembangunan ke bawah (trickle down) dan kemudian menyebar sehingga
menimbulkan keseimbangan baru. Apabila proses otomatis tersebut masih belum
mampu menurunkan tingkat perbedaan pendapatan yang sangat timpang, maka dapat
dilakukan melalui sistem perpajakan dan subsidi.
Penetapan pajak
pendapatan/penghasilan akan mengurangi pendapatan penduduk yang pendapatannya
tinggi. Sebaliknya subsidi akan membantu penduduk yang pendapatannya rendah,
asalkan tidak salah sasaran dalam pengalokasiannya. Pajak yang telah dipungut
apalagi menggunakan sistem tarif progresif (semakin tinggi pendapatan, semakin
tinggi prosentase tarifnya), oleh pemerintah digunakan untuk membiayai roda
pemerintahan, subsidi dan proyek pembangunan. Dari sinilah terjadi proses
redistribusi pendapatan yang akan mengurangi terjadinya ketimpangan.
Tingginya Produk Domestik Bruto
(PDB) suatu negara belum tentu mencerminkan meratanya terhadap distribusi
pendapatan. Kenyataan menunjukkan bahwa pendapatan masyarakat tidak selalu
merata, bahkan kecendrungan yang terjadi justru sebaliknya. Distribusi
pendapatan yang tidak merata akan mengakibatkan terjadinya disparitas. Semakin
besar perbedaan pembagian “kue” pembangunan, semakin besar pula disparitas
distribusi pendapatan yang terjadi. Indonesia yang tergolong dalam negara yang
sedang berkembang tidak terlepas dari permasalahan ini.
Kemiskinan Di Indonesia, fenomena Dan Fakta
Menurut Remi dan
Tjiptoherijanto (2002:1) upaya menurunkan tingkat kemiskinan di Indonesia
telah dimulai awal tahun 1970-an diantaranya melalui program Bimbingan
Masyarakat (Bimas) dan Bantuan Desa (Bandes). Tetapi upaya tersebut mengalami
tahapan jenuh pada pertengahan tahun 1980-an, yang juga berarti upaya penurunan
kemiskinan di tahun 1970-an tidak maksimal, sehingga jumlah orang miskin pada
awal 1990-an kembali naik. Disamping itu kecenderungan ketidakmerataan
pendapatan nasional melebar yang mencakup antar sektor, antar kelompok, dan
ketidakmerataan antar wilayah.
berdasarkan data Bank Dunia jumlah penduduk
miskin Indonesia pada tahun 2002 bukanlah 10 sampai 20% tetapi telah mencapai
60% dari jumlah penduduk Indonesia yang berjumlah 215 juta jiwa. Hal ini diakibatkan
oleh ketidakmampuan mengakses sumber-sumber permodalan, juga karena
infrastruktur yang juga belum mendukung untuk dimanfaatkan masyarakat
memperbaiki kehidupannya, selain itu juga karna SDM, SDA, Sistem, dan juga
tidak terlepas dari sosok pemimpin. Kemiskinan harus diakui memang terus
menjadi masalah fenomenal sepanjang sejarah Indonesia sebagai negara bangsa,
bahkan hampir seluruh energi dihabiskan hanya untuk mengurus persoalan
kemiskinan. Yang menjadi pertanyaan sekarang ini adalah, mengapa masalah
kemiskinan seakan tak pernah habis, sehingga di negara ini, rasanya tidak ada
persoalan yang lebih besar, selain persoalan kemiskinan. Kemiskinan telah
membuat jutaan anak-anak tidak bisa mengenyam pendidikan yang berkualitas,
kesulitan membiayai kesehatan, kurangnya tabungan dan tidak adanya investasi,
kurangnya akses ke pelayanan publik, kurangnya lapangan pekerjaan, kurangnya
jaminan sosial dan perlindungan terhadap keluarga, menguatnya arus perpindahan
dari desa ke kota dengan tujuan memperbaiki kehidupan, dan yang lebih parah,
kemiskinan menyebabkan jutaan rakyat memenuhi kebutuhan pangan, sandang dan
papan secara terbatas. Kemiskinan menyebabkan masyarakat desa rela mengorbankan
apa saja demi keselamatan hidup, kemiskinan menyebabkan banyak orang melakukan
prilaku menyimpang, harga diri diperjual belikan hanya untuk mendapatkan makan.
Si Miskin rela mempertaruhkan tenaga fisik untuk memproduksi keuntungan bagi
mereka yang memiliki uang dan memegang kendali atas sektor perekonomian lokal
dan menerima upah yang tidak sepadan dengan biaya tenaga yang dikeluarkan. Para
buruh bekerja sepanjang hari, tetapi mereka menerima upah yang sangat sedikit.
Bahkan yang lebih parah, kemiskinan telah membuat masyarakat kita terjebak
dalam budaya memalas, budaya mengemis, dan menggantungkan harapannya dari budi
baik pemerintah melalui pemberian bantuan. kemiskinan juga dapat meningkatkan
angka kriminalitas, kenapa penulis mengatakan bahwa kemiskinan dapat
meningkatkan angka kriminalitas, jawabannya adalah karna mereka (simiskin) akan
rela melakukan apa saja untuk dapat mempertahankan hidupnya, baik itu mencuri,
membunuh, mencopet, bahkan jika ada hal yang lebih keji dari itu ia akan tega
dan berani melakukannya demi hidupnya. Kalau sudah seperti ini siapa yang harus
kita salahkan. kemiskinan seakan menjadi sebuah fenomena atau sebuah persoalan
yang tak ada habis-habisnya, pemerintah terkesan tidak serius dalam menangani
persoalan kemiskinan, pemerintah lebih membiarkan mereka mengemis dan mencuri
ketimbang memikirkan cara untuk menanggulangi dan mengurangi tingkat kemiskinan
dan membebaskan Negara dari para pengemis jalanan karna kemiskinan.
Tabel perkembangan tingkat kemiskinan diIndonesia pada tahun 1976-2007
Tahun
|
Kemiskinan di Pedesaan
|
Kemiskinan di Perkotaan
|
Jumlah
|
1976
|
44,2 Juta jiwa
|
10 Juta jiwa
|
54,2 Juta jiwa
|
1980
|
9,5 Juta jiwa
|
32,8 Juta jiwa
|
42,3 Juta jiwa
|
1990
|
9,4 Juta jiwa
|
17,8 Juta jiwa
|
27,2 Juta jiwa
|
1996
|
9,6 Juta jiwa
|
24,9 Juta jiwa
|
34,5 Juta jiwa
|
2002
|
25,1 Juta jiwa
|
13,3 Juta jiwa
|
38,4 Juta jiwa
|
2007
|
23,7 Juta jiwa
|
13,5 Juta jiwa
|
37,2 Juta jiwa
|
PENJELASAN
jumlah penduduk miskin di Indonesia pada periode 1976-2007 berfluktuasi
dari tahun ke tahun. Pada tahun 1976 penduduk miskin sekitar 54,2 juta jiwa
(sekitar 44,2 juta jiwa di perdesaan, dan sekitar 10 juta jiwa di perkotaan).
Angka ini pada tahun 1980 berkurang hingga menjadi sekitar 42,3 juta jiwa
(sekitar 32,8 juta jiwa di perkotaan, dan sekitar 9,5 juta jiwa di perdesaan),
atau berkurang sekitar 21,95 persen dari tahun 1976. Pada tahun 1990 jumlah penduduk
miskin berkurang hingga menjadi sekitar 27,2 juta jiwa (sekitar 17,8 juta jiwa
di perkotaan, dan sekitar 9,4 juta jiwa di perdesaan), atau berkurang sekitar
35,69 persen dari tahun 1980. Pada tahun 1996 jumlah penduduk miskin mengalami
kenaikan hingga mencapai sekitar 34,5 juta jiwa (sekitar 24,9 juta jiwa di
perkotaan, dan sekitar 9,6 juta jiwa di perdesaan). Dibandingkan dengan tahun
1990, angka ini menurun sekitar 20,87 persen. Namun, pada tahun 2002 jumlah
penduduk miskin kembali meningkat hingga menjadi sekitar 38,4 juta jiwa.
Sementara, pada tahun 2007 jumlah penduduk miskin menurun hingga menjadi
sekitar 37.17 juta jiwa. Fluktuasi jumlah penduduk miskin di Indonesia
disebabkan karena terjadinya krisis ekonomi, pertambahan jumlah penduduk tiap tahun,
pengaruh kebijakan pemerintah dan sebagainya.(Badan Pusat Statistik).
2.
Terangkan bagaimana menganalisis tentang distribusi
pendapatan berikan contohnya !
Terdapat berbagai criteria atau
tolak ukur untuk menilai kemerataan (parah/lunaknya ketimpangan) distibusi
dimaksud. Tiga diantaranya yang paling lazim digunakan ialah :
1.
Kurva Lorenz
2.
Indeks atau
Rasio gini
3.
Criteria Bank Dunia
1. KURVA LORENZ
Penjelasan :
- ·
Kurva
Lorenz menggambarkan distribusi kumulatif pendapatan nasional dikalangan
lapisan-lapisan penduduk, secara kumulatif pula. Kurva ini terletak
didalam sebuah bujur sangkar yang sisi tegaknya melambangkan persentase
kumulatif pendapatan nasional, sedangkan sisi datarnya mewakili persentase
kumulatif penduduk. Kurvanya
sendiri “ditempatkan” pada
diagonal utama bujur sangkar tersebut. Kurva Lorenz yang semakin dekat ke
diagonal (semakin lurus) menyiratkan distribusi pendapatan nasional yang
semakin merata. Sebaliknya, jika kurva Lorenz semakin jauh dari diagonal
(semakin lengkung), maka ia mencerminkan keadaan yang semakin buruk,
distribusi pendapatan nasional semakin timpang atau tidak merata.
2. Indeks atau Rasio Gini
- · Indeks atau Rasio Gini adalah
suatu koefisien yang, berkisar dari angka 0-1, menjelaskan kadar
kemerataan (ketimpangan) distribusi pendapatan nasional. Semakin kecil
(semakin mendekati 0) koefisien nya, pertanda semakin baik atau merata
distribusi. Di lain pihak, koefisien yang kian besar (semakin mendekati 1)
mengisyaratkan distribusi yang kian timpang atau senjang. Angka rasio gini
dapat ditaksirkan secara visual langsung dari kurva Lorenz, yaitu
perbandingan luas are yang terletak diantara kurva Lorenz dan diagonal
terhadap luas area segitiga OBC. Perhatikan, semakin melengkung kurva
Lorenz akan semakin luas area yang dibagi. Rasio gini nya akan kian besar,
menyiratkan distribusi pendapatan yang kian timpang. Rasio gini juga dapat
dihitung secara matematik dengan rumus :
G = 1- E1 (Xi+1 – X1)(Yi + Yi+1)
0 < G < 1
·
G = Rasio Gini
·
Xi
= Proporsi jumlah kumulatif rumah tangga dalam kelas- i
·
Yi
= Proporsi jumlah kumulatif pendapatan dalam kelas-i
Keterangan koefisien Gini:
Ketimpangan rendah : < 0.4
Ketimpangan Sedang : 0.4-0.5
Ketimpangan tinggi : > 0.5
- Bank
Dunia :
Selain Kurva
Lorenz dan Koefisien Gini , untuk melihat distribusi pendapatan dapat
menggunakan kriteria yang ditentukan Bank Dunia.
Contoh dalam bentuk tabel.
Indikator ketimpangan Distribusi Pendapatan Menurut Bank Dunia
Distribusi
Pendapatan
|
Tingkat Ketimpangan
|
Kelompok 40%
penduduk termiskin pengeluarannya < 12 % dari keseluruhan pengeluaran.
Kelompok 40%
penduduk termiskin pengeluarannya antara 12% - 17% dari keseluruhan
pengeluaran.
Kelompok 40%
penduduk termiskin pengeluarannya > 17% dari keseluruhan pengeluaran.
|
Tinggi
Sedang
Rendah
|
Keterangan .
Tinggi : 40% kelompok termiskin dengan pengeluaran < 12% dr total Y
Sedang : 40% kelompok termiskin dengan pengeluaran 12-17% dr total Y
Rendah: 40% kelompok termiskin dengan pengeluaran > 17% dr total Y
Kriteria ketidakmerataan versi Bank Dunia didasarkan atas porsi
pendapatan nasional yang dinikmati oleh tiga lapisan penduduk, yakni 40%
penduduk berpendapatan terendah (penduduk termiskin) ; 40% penduduk
berpendapatan menengah ; 20% penduduk berpendapatan tertinggi (penduduk
terkaya). Ketimpangan atau ketidakmerataan distribusi dinyatakan parah apabila
40% penduduk berpendapatan terendah menikmati kurang dari 12% pendapatan
nasional. Ketidakmerataan dianggap sedang atau moderat bila 40% penduduk
termiskin menikmati antara 12% - 17% pendapatan nasional. Sedangkan jika 40%
penduduk yang berpendapatan terendah menikmati lebih dari 17% pendapatan
nasional, maka ketimpangan atau kesenjangan dikatakan lunak, distribusi
pendapatan nasional dianggap cukup merata.
Kriteria ketidakmerataan versi Bank Dunia ini sering pula dipakai
sekaligus sebagai criteria kemiskinan relative. Kemerataan distribusi
pendapatan nasional bukan semata-mata ”pendamping” pertumbuhan ekonomi dalam
menilai keberhasilan pembangunan. Ketidakmerataan sesungguhnya tak lepas dari
maslah kemiskinan. Keduanya ibarat dua sisi pada sekeping mata uang. Oleh
karnanya diskusi-diskusi mengenai pemerataan senantiasa terkait dengan
pembahasan tentang kemiskinan.
Isu kemerataan dan pertumbuhan hingga kini masih menjadi debat tak
berkesudahan dalam konteks pembangunan. Kedua hal ini berkait dengan dua hal
lain yang juga setara kadar perdebatannya, yaitu efektivitas dan efisiensi.
Pemikiran dan strategi serta pelaksanaan pembangunan ekonomi tak pernah luput
dari perdebatan antara pengutamaan efisiensi dan pertumbuhan disatu pihak
melawan pengutamaan efektivitas dan kemerataan dilain pihak. Pakar-pakar
ekonomi pembangunan tak kunjung usai memperdebatkannya. Beberapa diantara
mereka cenderung lebih berpihak disalah satu kutub, sementara beberapa
selebihnya berpihak dikutub seberangnya.
CONTOH :
Koefisien Gini Perekonomian DKI Jakarta, Tahun 1997-2001
Tahun
|
40% Berpendapatan Terendah
|
40% Berpendapatan Sedang
|
20% Berpendapatan Tertinggi
|
Rasio Gini
|
1997
|
19,8
|
35,0
|
45,2
|
0,34
|
1998
|
23,4
|
30,1
|
46,5
|
0,33
|
1999
|
21,4
|
38,9
|
40,7
|
0,32
|
2000
|
20,2
|
35,6
|
44,2
|
0,35
|
2001
|
21,8
|
37,0
|
41,2
|
0,31
|
Penjelasan
Dari tabel di atas
terlihat bahwa selama 1997-2001 , 40% penduduk berpendapatan terendah di
Provinsi DKI Jakarta menikmati sekitar 20% output perekonomian DKI Jakarta.
Porsi terbesar yang pernah mereka nikmati terjadi pada awal krisis ekonomi
yaitu tahun 1998 , dimana 40% penduduk berpendapatan terendah menikmati 23,4%
output perekonomian. Namun secara keseluruhan porsi output yang dinikmati 40%
penduduk berpendapatan terendah, selama periode krisis ekonomi membaik.
thanks ya infonya !!!
BalasHapuswww.bisnistiket.co.id