Pengertian
Definisi perjanjian telah diatur dalam Kitab Undang-Undang
Hukum Perdata (KUH Perdata) Pasal 1313, yaitu bahwa perjanjian atau persetujuan
adalah suatu perbuatan dengan mana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya
terhadap satu orang lain atau lebih. Kata persetujuan tersebut merupakan
terjemahan dari perkataan overeekomst dalam bahasa Belanda. Kata overeekomst
tersebut lazim diterjemahkan juga dengan kata perjanjian. Jadi persetujuan
dalam Pasal 1313 KUH Perdata tersebut sama artinya dengan perjanjian.
Macam-macam perjanjian
·
perjanjian timbal balik dan perjanjian sepihak.
·
Perjanjian percuma dan perjanjian dengan alas
hak yang membebani.
·
Perjanjian bernama dan tidak bernama
·
Perjanjian kebendaan dan perjanjian obligator
·
Perjanjian konsensual dan perjanjian real
·
perjanjian timbal balik dan perjanjian sepihak.
Perjanjian timbal balik (bilateral contract) adalah perjanjian yang memberikan hak dan kewajiban kepada kedua belah pihak. Perjanjian timbal balik adalah pekerjaan yang paling umum terjadi dalam kehidupan bermasyarakat. Misalnya, perjanjian jual-beli, sewa-menyewa, pemborongan bangunan, tukar-menukar.
Yang menjadi kriteria perjanjian jenis ini adalah kewajiban berprestasi kedua belah pihak atau satu pihak. Prestasi biasanya berupa benda berwujud baik bergerak maupun tidak bergerak, atau benda tidak berwujud berupa hak, misalnya hak untuk menghuni rumah.
Pembadaan ini mempunyai arti penting dalam praktek, terutama dalam soal pemutusan perjanjian menurut pasal 1266 KUHPdt. Menurut pasal ini salah satu syarat adalah pemutusan perjanjian itu apabila perjanjian itu bersifat timbal balik.
Perjanjian timbal balik (bilateral contract) adalah perjanjian yang memberikan hak dan kewajiban kepada kedua belah pihak. Perjanjian timbal balik adalah pekerjaan yang paling umum terjadi dalam kehidupan bermasyarakat. Misalnya, perjanjian jual-beli, sewa-menyewa, pemborongan bangunan, tukar-menukar.
Yang menjadi kriteria perjanjian jenis ini adalah kewajiban berprestasi kedua belah pihak atau satu pihak. Prestasi biasanya berupa benda berwujud baik bergerak maupun tidak bergerak, atau benda tidak berwujud berupa hak, misalnya hak untuk menghuni rumah.
Pembadaan ini mempunyai arti penting dalam praktek, terutama dalam soal pemutusan perjanjian menurut pasal 1266 KUHPdt. Menurut pasal ini salah satu syarat adalah pemutusan perjanjian itu apabila perjanjian itu bersifat timbal balik.
·
Perjanjian percuma dan perjanjian dengan alas
hak yang membebani.
Perjanjian percuma adalah perjanjian yang hanya memberikan keuntungan pada satu pihak saja, misalnya perjanjian pinjam pakai, perjanjian hibah. Perjanjian dengan alas hak yang membenbani adalah perjanjian dalam nama terhadap prestasi dari pihak yang satu selalu terdapat kontra prestasi dari pihak lainnya, sedangkan antara kedua prestasi itu ada hubungannya menurut hukum.
Perjanjian percuma adalah perjanjian yang hanya memberikan keuntungan pada satu pihak saja, misalnya perjanjian pinjam pakai, perjanjian hibah. Perjanjian dengan alas hak yang membenbani adalah perjanjian dalam nama terhadap prestasi dari pihak yang satu selalu terdapat kontra prestasi dari pihak lainnya, sedangkan antara kedua prestasi itu ada hubungannya menurut hukum.
·
Perjanjian bernama dan tidak bernama
Perjanjian bernama adalah perjanjian yang mempunyai nama sendiri, yang dikelompokan sebagai perjanjian-perjanjian khusus, karena jumlahnya terbatas, misalnya jual-beli, sewa-menyewa, tukar-menukar, pertanggungan. Perjanjian tidak bernama adalah perjanjian yang tidak mempunyai nama tertentu dan jumlahnya terbatas.
Perjanjian bernama adalah perjanjian yang mempunyai nama sendiri, yang dikelompokan sebagai perjanjian-perjanjian khusus, karena jumlahnya terbatas, misalnya jual-beli, sewa-menyewa, tukar-menukar, pertanggungan. Perjanjian tidak bernama adalah perjanjian yang tidak mempunyai nama tertentu dan jumlahnya terbatas.
·
Perjanjian kebendaan dan perjanjian obligator
Perjanjian kebendaan (zakelijke overeenkomst, delivery contract) adalah perjanjian untuk memindahkan hak milik dalam perjanjian jual beli. Perjanjian keberadaan ini sebagai pelaksanaan perjanjian obligator. Perjanjian obligator adalah perjanjian yang menimbulkan perikatan, artinya sejak perjanjian, timbullah hak dan kewajiban pihak-pihak. Pembeli berhak menuntut penyerahan barang, penjual berhak atas pembayaran harga.
Perjanjian kebendaan (zakelijke overeenkomst, delivery contract) adalah perjanjian untuk memindahkan hak milik dalam perjanjian jual beli. Perjanjian keberadaan ini sebagai pelaksanaan perjanjian obligator. Perjanjian obligator adalah perjanjian yang menimbulkan perikatan, artinya sejak perjanjian, timbullah hak dan kewajiban pihak-pihak. Pembeli berhak menuntut penyerahan barang, penjual berhak atas pembayaran harga.
·
Perjanjian konsensual dan perjanjian real
Perjanjian konsensual adalah perjanjian yang timbul karna adanya persetujuan kehendak antara pihak-pihak. Perjanjian real adalah perjanjian di samping ada persetujuan kehendak juga sekaligus harus ada penyerahan nyata atas barangnya, misalnya jual beli barang bergerak, perjanjian penitipan, pinjam pakai (pasal 1694, 1740, dan 1754 KUHPdt).
Perjanjian konsensual adalah perjanjian yang timbul karna adanya persetujuan kehendak antara pihak-pihak. Perjanjian real adalah perjanjian di samping ada persetujuan kehendak juga sekaligus harus ada penyerahan nyata atas barangnya, misalnya jual beli barang bergerak, perjanjian penitipan, pinjam pakai (pasal 1694, 1740, dan 1754 KUHPdt).
Syarat sahnya perjanjia:
§
terdapat kesepakatan antara dua pihak
§
kedua belah pihak mampu membuat sebuah
perjanjian
§
terdapat suatu hal yang dijadikan perjanjian
§
hukum perjanjian dilakukan atas sebab yang
benar
Prinsip-prinsip atau asas-asas fundamental yang menguasai
hukum kontrak adalah: prinsip atau asas konsensualitas di mana
persetujuan-persetujuan dapat terjadi karena persesuaian kehendak (konsensus)
para pihak. Pada umumnya persetujuanpersetujuan itu dapat dibuat secara “bebas
bentuk” dan dibuat tidaksecara formal melainkan konsensual.
Asas konsensualitas dalam hukum perdata Indonesia
dapat disimpulkan dari Pasal 1320 juncto Pasal 1338 ayat (1)
KUH Perdata. Jadi pada dasarnya berdasarkan asas konsensualitas maka
perjanjian dianggap sudah terbentuk karena adanya perjumpaan kehendak
(consensus) dari pihak-pihak. Perjanjian pada pokoknya dapat dibuat bebas
tidak terikat bentuk dan tercapai tidak secara formil, tetapi cukup
melalui konsensus belaka.
Prinsip atau asas “kekuatan mengikat persetujuan” menegaskan
bahwa para pihak harus memenuhi apa yang telah diperjanjikan sehingga merupakan
ikatan para pihak satu sama lain.
Asas kekuatan mengikat dapat ditemukan
landasannya dalam ketentuan Pasal 1374 ayat (1) BW (lama) atau
Pasal 1338 ayat (1) KUH Perdata:
“Semua persetujuan yang dibuat secara sah berlaku sebagai
undang-undang bagi mereka yang membuatnya.”
Di dalam Pasal 1339 KUH Perdata dimasukkan
prinsip kekuatan mengikat ini:
“Suatu perjanjian tidak hanya mengikat untuk hal-hal yang
dengan tegas dinyatakan didalamnya, tetapi juga untuk segala sesuatu yang
menurut sifat perjanjian, diharuskan oleh kepatutan, kebiasaan atau
undangundang.”
prinsip atau asas kebebasan berkontrak yakni di mana para
pihak diperkenankan membuat suatu persetujuan sesuai dengan pilihan bebas
masing-masing dan setiap orang mempunyai kebebasan untuk membuat kontrak dengan
siapa saja yang dikehendakinya, selain itu para pihak dapat menentukan sendiri
isi maupun persyaratan-persyaratan suatu persetujuan dengan pembatasan bahwa
persetujuan tersebut tidak boleh bertentangan dengan sebuah ketentuan
undang-undang yang bersifat memaksa, kesusilaan, dan ketertiban umum.
Berlakunya asas kebebasan berkontrak dalam hukum perjanjian
Indonesia, antara lain dapat disimpulkan dalam rumusan-rumusan Pasal-pasal
1329, 1332 dan 1338 ayat (1) KUH Perdata.
Pasal 1329 KUH Perdata menyatakan bahwa:
“Setiap orang adalah cakap untuk membuat
perikatan-perikatan, jika ia oleh undang-undang tidak dinyatakan tak
cakap”.
Pasal 1332 KUH Perdata menguraikan
bahwa:
“Hanya barang-barang yang dapat diperdagangkan saja
dapat menjadi pokok suatu perjanjian.”
Pasal 1338 ayat (1) KUH Perdata menegaskan bahwa:
“Semua persetujuan yang dibuat secara sah berlaku sebagai
undang-undang bagi mereka yang membuatnya”.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar