Pages

Sabtu, 26 April 2014

BAB VI Hukum Dagang

Pengertian
Hukum dagang termasuk bagian dari hukum perdata/ hukum perikatan lain.Hukum Dagang adalah aturan-aturan hukum yang mengatur masalah perjanjian perdagangan atau perniagaan yang timbul karena tingkah laku manusia dalam perdagangan atau perniagaan. Hukum dagang dapat diartikan sebagai serangkaian kaidah yang memberikan aturan mengenai dunia bisnis atau dunia usaha dan dan dalam lalu lintas perdagangan.
Hukum dagang merupakan yang mengatur hubungan antara seorang produsen dan konsumen, yang menjual dan membeli sesuatu dengan tujuan untuk kesepakatan supaya tidak terjadi kesepakatan antara penjual dan pembeli.

Berlakunya Hukum Dagang
Kitab Undang-Undang Hukum Dagang masih berlaku di Indonesia berdasarkan Pasal 1 aturan peralihan UUD 1945 yang pada pokoknya mengatur bahwa peraturan yang ada masih tetap berlaku sampai pemerintah Indonesia memberlakukan aturan penggantinya. Di negeri Belanda sendiri Wetbook van Koophandel telah mengalami perubahan, namun di Indonesia Kitab Undang-Undang Hukum Dagang tidak mengalami perubahan yang komprehensif sebagai suatu kodifikasi hukum. Namun demikian kondisi ini tidak berarti bahwa sejak Indonesia merdeka, tidak ada pengembangan peraturan terhadap permasalahan perniagaan. Perubahan pengaturan terjadi, namun tidak tersistematisasi dalam kodifikasi Kitab Undang-Undang Hukum Dagang. Strategi perubahan pengaturan terhadap masalah perniagaan di Indonesia dilakukan secara parsial (terhadap substansi Kitab Undang-Undang Hukum Dagang) dan membuat peraturan baru terhadap substansi yang tidak diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Dagang.

Perkumpulan-perkumpulan Dagang:
1.       Persekutuan (Maatschap) : suatu bentuk kerjasama dan siatur dalam KUHS tiap anggota persekutuan hanya dapat mengikatkan dirinya sendiri kepada orang-oranglain. Dengan lain perkataan ia tidak dapat bertindak dengan mengatas namakan persekutuan kecuali jika ia diberi kuasa. Karena itu persekutuan bukan suatu pribadi hukum atau badan hukum.
2.       Perseraoan Firma : suatu bentuk perkumpulan dagang yang peraturannya terdapat dalam KUHD (Ps 16) yang merupakan suatu perusahaan dengan memakai nama bersama. Dalam perseroan firma tiap persero (firma) berhak melakukan pengurusan dan bertindak keluar atas nama perseroan.
3.       Perseroan Komanditer (Ps 19 KUHD) : suatu bentuk perusahaan dimana ada sebagian persero yang duduk dalam pimpinan selaku pengurus dan ada sebagian persero yang tidak turut campur dalam kepengurusan (komanditaris/ berdiri dibelakang layar)
4.       Perseroan Terbatas (Ps 36 KUHD) : perusahaan yang modalnya terbagi atas suatu jumlah surat saham atau sero yang lazimnya disediakan untuk orang yang hendak turut.
Arti kata Terbatas, ditujukan pada tanggung jawab/ resiko para pesero/ pemegang saham, yang hanya terbatas pada harga surat sero yang mereka ambil.
§  PT harus didirikan dngan suatu akte notaris
§  PT bertindak keluar dengan perantaraan pengurusnya, yang terdiri dari seorang atau beberapa orang direktur yang diangkat oleh rapat pemegang saham.
§  PT adalah suatu badan hukum yang mempunyai kekayaan tersendiri, terlepas dari kekayaan pada pesero atau pengurusnya.
Suatu PT oleh undang-undang dinyatakan dalam keadaan likwidasi jika para pemegang saham setuju untuk tidak memperpanjang waktu pendiriannya dan dinyatakan hapus jika PT tesebutmenderita rugi melebihi 75% dari jumlah modalnya.
5.       Koperasi : suatu bentuk kerjasama yang dapat dipakai dalam lapangan perdagangan
Diatur diluar KUHD dalam berbagai peraturan :
a.       Dalam Stb 1933/ 108 yang berlaku untuk semua golongan penduduk.
b.      Dalam stb 1927/91 yang berlaku khusus untuk bangsa Indonesia
c.       Dalam UU no. 79 tahun 1958
¨      Keanggotaannya bersifat sangat pribadi, jadi tidak dapat diganti/ diambil alih oleh orang lain.
¨      Berasaskan gotong royong
¨      Merupakan badan hukum
¨      Didirikan dengan suatu akte dan harus mendapat izin dari menteri Koperasi.
6.       Badan-badan Usaha Milik Negara (UU no 9/ 1969)
a.       Berbentuk Persero : tunduk pada KUHD (stb 1847/ 237 Jo PP No. 12/ 1969)
b.      Berbentuk Perjan : tunduk pada KUHS/ BW (stb 1927/ 419)
c.       Berbentuk Perum : tunduk pada UU no. 19 (Perpu tahun 1960)




BAB V HUKUM PERJANJIAN

Pengertian
Definisi perjanjian telah diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUH Perdata) Pasal 1313, yaitu bahwa perjanjian atau persetujuan adalah suatu perbuatan dengan mana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang lain atau lebih. Kata persetujuan tersebut merupakan terjemahan dari perkataan overeekomst dalam bahasa Belanda. Kata overeekomst tersebut lazim diterjemahkan juga dengan kata perjanjian. Jadi persetujuan dalam Pasal 1313 KUH Perdata tersebut sama artinya dengan perjanjian.
Macam-macam perjanjian
·         perjanjian timbal balik dan perjanjian sepihak.
·         Perjanjian percuma dan perjanjian dengan alas hak yang membebani.
·         Perjanjian bernama dan tidak bernama
·         Perjanjian kebendaan dan perjanjian obligator
·         Perjanjian konsensual dan perjanjian real

·         perjanjian timbal balik dan perjanjian sepihak.
Perjanjian timbal balik (bilateral contract) adalah perjanjian yang memberikan hak dan kewajiban kepada kedua belah pihak. Perjanjian timbal balik adalah pekerjaan yang paling umum terjadi dalam kehidupan bermasyarakat. Misalnya, perjanjian jual-beli, sewa-menyewa, pemborongan bangunan, tukar-menukar.
Yang menjadi kriteria perjanjian jenis ini adalah kewajiban berprestasi kedua belah pihak atau satu pihak. Prestasi biasanya berupa benda berwujud baik bergerak maupun tidak bergerak, atau benda tidak berwujud berupa hak, misalnya hak untuk menghuni rumah.
Pembadaan ini mempunyai arti penting dalam praktek, terutama dalam soal pemutusan perjanjian menurut pasal 1266 KUHPdt. Menurut pasal ini salah satu syarat adalah pemutusan perjanjian itu apabila perjanjian itu bersifat timbal balik.

·         Perjanjian percuma dan perjanjian dengan alas hak yang membebani.
Perjanjian percuma adalah perjanjian yang hanya memberikan keuntungan pada satu pihak saja, misalnya perjanjian pinjam pakai, perjanjian hibah. Perjanjian dengan alas hak yang membenbani adalah perjanjian dalam nama terhadap prestasi dari pihak yang satu selalu terdapat kontra prestasi dari pihak lainnya, sedangkan antara kedua prestasi itu ada hubungannya menurut hukum.



·         Perjanjian bernama dan tidak bernama
Perjanjian bernama adalah perjanjian yang mempunyai nama sendiri, yang dikelompokan sebagai perjanjian-perjanjian khusus, karena jumlahnya terbatas, misalnya jual-beli, sewa-menyewa, tukar-menukar, pertanggungan. Perjanjian tidak bernama adalah perjanjian yang tidak mempunyai nama tertentu dan jumlahnya terbatas.
·         Perjanjian kebendaan dan perjanjian obligator
Perjanjian kebendaan (zakelijke overeenkomst, delivery contract) adalah perjanjian untuk memindahkan hak milik dalam perjanjian jual beli. Perjanjian keberadaan ini sebagai pelaksanaan perjanjian obligator. Perjanjian obligator adalah perjanjian yang menimbulkan perikatan, artinya sejak perjanjian, timbullah hak dan kewajiban pihak-pihak. Pembeli berhak menuntut penyerahan barang, penjual berhak atas pembayaran harga.
·         Perjanjian konsensual dan perjanjian real
Perjanjian konsensual adalah perjanjian yang timbul karna adanya persetujuan kehendak antara pihak-pihak. Perjanjian real adalah perjanjian di samping ada persetujuan kehendak juga sekaligus harus ada penyerahan nyata atas barangnya, misalnya jual beli barang bergerak, perjanjian penitipan, pinjam pakai (pasal 1694, 1740, dan 1754 KUHPdt).


Syarat sahnya perjanjia:
§  terdapat kesepakatan antara dua pihak
§  kedua belah pihak mampu membuat sebuah perjanjian
§  terdapat suatu hal yang dijadikan perjanjian
§  hukum perjanjian dilakukan atas sebab yang benar

Prinsip-prinsip atau asas-asas fundamental yang menguasai hukum kontrak adalah: prinsip atau asas konsensualitas di mana persetujuan-persetujuan dapat terjadi karena persesuaian kehendak (konsensus) para pihak. Pada umumnya persetujuanpersetujuan itu dapat dibuat secara “bebas bentuk” dan dibuat tidaksecara formal melainkan konsensual. 
Asas konsensualitas dalam hukum perdata Indonesia dapat disimpulkan dari Pasal 1320 juncto Pasal 1338 ayat (1) KUH Perdata. Jadi pada dasarnya berdasarkan asas konsensualitas maka perjanjian dianggap sudah terbentuk karena adanya perjumpaan kehendak (consensus) dari pihak-pihak. Perjanjian pada pokoknya dapat dibuat bebas tidak terikat bentuk dan tercapai tidak secara formil, tetapi cukup melalui konsensus belaka.
Prinsip atau asas “kekuatan mengikat persetujuan” menegaskan bahwa para pihak harus memenuhi apa yang telah diperjanjikan sehingga merupakan ikatan para pihak satu sama lain. 
Asas kekuatan mengikat dapat ditemukan landasannya dalam ketentuan Pasal 1374 ayat (1) BW (lama) atau Pasal 1338 ayat (1) KUH Perdata:
“Semua persetujuan yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya.”
Di dalam Pasal 1339 KUH Perdata dimasukkan prinsip kekuatan mengikat ini:
“Suatu perjanjian tidak hanya mengikat untuk hal-hal yang dengan tegas dinyatakan didalamnya, tetapi juga untuk segala sesuatu yang menurut sifat perjanjian, diharuskan oleh kepatutan, kebiasaan atau undangundang.”
prinsip atau asas kebebasan berkontrak yakni di mana para pihak diperkenankan membuat suatu persetujuan sesuai dengan pilihan bebas masing-masing dan setiap orang mempunyai kebebasan untuk membuat kontrak dengan siapa saja yang dikehendakinya, selain itu para pihak dapat menentukan sendiri isi maupun persyaratan-persyaratan suatu persetujuan dengan pembatasan bahwa persetujuan tersebut tidak boleh bertentangan dengan sebuah ketentuan undang-undang yang bersifat memaksa, kesusilaan, dan ketertiban umum.
Berlakunya asas kebebasan berkontrak dalam hukum perjanjian Indonesia, antara lain dapat disimpulkan dalam rumusan-rumusan Pasal-pasal 1329, 1332 dan 1338 ayat (1) KUH Perdata.
 Pasal 1329 KUH Perdata menyatakan bahwa:
“Setiap orang adalah cakap untuk membuat perikatan-perikatan, jika ia oleh undang-undang tidak dinyatakan tak cakap”.
 Pasal 1332 KUH Perdata menguraikan
bahwa:
“Hanya barang-barang yang dapat diperdagangkan saja dapat menjadi pokok suatu perjanjian.”
 Pasal 1338 ayat (1) KUH Perdata menegaskan bahwa:
“Semua persetujuan yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya”.



BAB IV HUKUM PERIKATAN

Pengertian
Hukum perikatan adalah adalah suatu hubungan hukum dalam lapangan harta kekayaan antara dua orang atau lebih di mana pihak yang satu berhak atas sesuatu dan pihak lain berkewajiban atas sesuatu. Hubungan hukum dalam harta kekayaan ini merupakan suatu akibat hukum, akibat hukum dari suatu perjanjian atau peristiwa hukum lain yang menimbulkan perikatan. Dari rumusan ini dapat diketahui bahwa perikatan itu terdapat dalam bidang hukum harta kekayaan (law of property), juga terdapat dalam bidang hukum keluarga (family law), dalam bidang hukum waris (law of succession) serta dalam bidang hukum pribadi(pers onal law). Di dalam perikatan ada perikatan untuk berbuat sesuatu dan untuk tidak berbuat sesuatu. Yang dimaksud dengan perikatan untuk berbuat sesuatu adalah melakukan perbuatan yang sifatnya positif, halal, tidak melanggar undang-undang dan sesuai dengan perjanjian.

Sedangkan perikatan untuk tidak berbuat sesuatu yaitu untuk tidak melakukan perbuatan tertentu yang telah disepakati dalam perjanjian. Contohnya; perjanjian untuk tidak mendirikan bangunan yang sangat tinggi sehingga menutupi sinar matahari atau sebuah perjanjian agar memotong rambut tidak sampai botak.
Definisi hukum perikatan :
• Hofmann
Perikatan adalah suatu hubungan hukum antara sejumlah subjek-subjek hukum sehubungan dengan itu seorang atau beberpaa orang daripadanya mengikatkan dirinya untuk bersikap menurut cara-cara tertentu terhadap pihak lain yang berhak atas sikap yang demikian.
• Pitlo
Perikatan adalah suatu hubungan hukum yang bersifat harta kekayaan antara dua orang atau lebih atas dasar mana pihak yang satu berhak (kreditur) dan pihak yang lain berkewajiban (debitur) atas sesuatu prestasi.
• Vollmar
Ditinjau dari isinya, ternyata bahwa perikatan itu ada selama seseorang itu (debitur) harus melakukan suatu prestasi yang mungkin dapat dipaksakan terhadap (kreditur), kalau perlu dengan bantuan hakim.


Macam-macam perikatan :
1. Perikatan bersyarat
2. Perikatan yang digantungkan pada suatu ketetapan waktu
3. Perikatan yang membolehkan memilih
4. Perikatan tanggung menanggung
5. Perikatan yang dapat dibagi dan tidak dapat dibagi
6. Perikatan tentang penetapan hukuman

Dasar Hukum Perikatan
Sumber-sumber hukum perikatan yang ada di Indonesia adalah perjanjian dan undang-undang, dan sumber dari undang-undang dapat dibagi lagi menjadi undang-undang melulu dan undang-undang dan perbuatan manusia. Sumber undang-undang dan perbuatan manusia dibagi lagi menjadi perbuatan yang menurut hukum dan perbuatan yang melawan hukum.
Dasar hukum perikatan berdasarkan KUH Perdata terdapat tiga sumber adalah sebagai berikut :
1.       Perikatan yang timbul dari persetujuan ( perjanjian )
2.       Perikatan yang timbul dari undang-undang
3.       Perikatan terjadi bukan perjanjian, tetapi terjadi karena perbuatan melanggar hukum( onrechtmatige daad ) dan perwakilan sukarela ( zaakwaarneming ) 
Asas-asas dalam hukum perjanjian diatur dalam Buku III KUH Perdata, yakni menganut azas kebebasan berkontrak dan azas konsensualisme.
·         Asas Kebebasan Berkontrak:Asas kebebasan berkontrak terlihat di dalam Pasal 1338 KUHP Perdata yang menyebutkan bahwa segala sesuatu perjanjian yang dibuat adalah sah bagi para pihak yang membuatnya dan berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya. 
·         Asas konsensualisme: artinya bahwa perjanjian itu lahir pada saat tercapainya kata sepakat antara para pihak mengenai hal-hal yang pokok dan tidak memerlukan sesuatu formalitas.
Untuk sahnya suatu perjanjian diperlukan empat syarat yaitu :

1.      Kata Sepakat antara Para Pihak yang Mengikatkan Diri 
Kata sepakat antara para pihak yang mengikatkan diri, yakni para pihak yang mengadakan perjanjian harus saling setuju dan seia sekata dalam hal yang pokok dari perjanjian yang akan diadakan tersebut.

2.      Cukup untuk Membuat Suatu Perjanjian
Cukup untuk membuat suatu perjanjian, artinya bahwa para pihak harus cukup menurut hukum, yaitu telah dewasa (berusia 21 tahun) dan tidak di bawah pengampuan.

3.      Mengenai Suatu Hal Tertentu 
Mengenai suatu hal tertentu, artinya apa yang akan diperjanjikan harus jelas dan terinci (jenis, jumlah, dan harga) atau keterangan terhadap objek, diketahui hak dan kewajiban tiap-tiap pihak, sehingga tidak akan terjadi suatu perselisihan antara para pihak.

4.       Suatu sebab yang Halal 
Suatu sebab yang halal, artinya isi perjanjian itu harus mempunyai tujuan (causa) yang diperbolehkan oleh undang-undang, kesusilaan, atau ketertiban umum

Wanprestasi dan Akibat-akibatnya
Wansprestasi timbul apabila salah satu pihak (debitur) tidak melakukan apa yang diperjanjikan.
Adapun bentuk dari wansprestasi bisa berupa empat kategori, yakni :
1. Tidak melakukan apa yang disanggupi akan dilakukannya;
2. Melaksanakan apa yang dijanjikannya, tetapi tidak sebagaimana yang dijanjikan;
3. Melakukan apa yang dijanjikan tetapi terlambat;






http://aramayudho.wordpress.com/2012/04/07/dasar-hukum-perikatan/